Minggu, 07 September 2014

Makam di Bawah Jendela

Makam di Bawah Jendela

Oleh: Ilham Q. Moehiddin



Muraj membuat Damha ketakutan dan hampir mati tersedak lidahnya sendiri. Begitulah awalnya. Entah bagaimana Muraj memilih seorang lekaki serapuh Damha, lelaki yang selalu mengira tak memiliki nyali dan merasa telah ditinggalkan siapa pun.

Apa yang diinginkan Muraj dari lelaki yang 25 tahun hidupnya disita derita itu. Kematian demi kematian mengelilinginya. Ayahnya mati sebelum sempat ia dilahirkan, lalu ibunya menusul mati tiga bulan setelah ia lahir. Ia disusui oleh seorang wanita paruh baya yang juga baru saja mati tiga tahun lalu. Dua adiknya, mati sekaligus dalam kecelakaan lalu lintas

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •



Muraj memberi Damha perintah untuk ia patuhi. Perintah yang bagai selubung besar membungkus tubuhnya. Damha terintimidasi oleh sebuah perintah sederhana. Ya. Perintah sederhana yang mendentam di kepala serupa palu pada lonceng.

"Katakanlah," bisik Muraj

Tetapi Damha tidak sedikit pun memahami keinginan Muraj. Lelaki itu terdiam mematung, sehingga Muraj harus menumpahkan ampas kopi ke atas meja kerjanya. Muraj mengacak-acak ampas kopi itu dengan kaki-kaki kecilnya.

"Makhluk apa kau ini?!" desis Damha pada sosok di depannya itu.

"Aku Muraj," jawab sosok itu seraya mengirik seperti hantu kecil yang kerap bergelayut di punggung setiap orang alim dan berusaha menikamkan godaan ke hati lewat telinga mereka.

Muraj mendekut serupa setan Morrou yang senantiasa menunggui orang-orang agar tak terjaga dari tidur mereka saat Subuh. "Katakanlah!" Muraj memerintah Damha sekai lagi. Ia ingin agar Damha menurutinya.

Perintah yang membuat lelaki itu nyaris menelan lidahnya sendiri karena ketakutan. Muraj melompat ke atas meja tik, menghentak-hentakkan kakinya, membuat pita karbon di mesin itu kusut-masai. Makhluk itu tampaknya tak perduli pada ketakutan lelaki di depannya.

"Apa akan kau habiskan ubi ini?" Muraj justru menunjuk dua potong ubi rebus dalam piring porselin di meja Damha.

Belum sempat Damha menggeleng, Muraj menyambar dua potong ubi itu, lalu menghabiskannya dalam sekali telan. Makhluk itu lalu bersandar pada penyangga buku menggesekkan tubuh seperti seekor kucing yang gatal, sebelum menarik penyangga itu dan membuat buku-buku roboh.

Ia cekit lembaran-lembaran buku sehingga robek dan melemparkannya ke lantai.

"Jangan... jangan lakukan itu," Damha memelas.

"Memohonlah padaku!" desis Muraj. "Kau bahkan tak berani melakukannya, bukan?" ejeknya.

Damha menggeleng. Sendi-sendinya lunglai, belulangnya seperti karet. Wajahnya kebas.

"Aku tak akan melakukannya padamu. Kau hanya seorang makhluk, bukan Tuhannya Musa, Isa, atau Muhammad.

Muraj mengirik. Sayapnya mengepak, lalu ia terbang hingga ke dada Damha. "Jangan menguji kesabaranku! Kau tak pantas menyebut zat yang tidak kau kenali," ujarnya marah. Dahma terlanga. Jemarinya lengket dan dadanya seperti ditekan sesuatu yang berat. Ia mengatupkan mata, berharap saat membukanya kembali, apa yang kini terjadi di depannya ini hanyalah mimpi belaka.

"Petang yang celaka, wahai jahanam!" rutuk Damha ketika membuka mata dan masih menemukan Muraj di atas dadanya. Ia terperangkap bersama makhluk itu dalam situasi yang aneh. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali cemas dan mengasihani dirinya sendiri. Ia berharap ada Marya di baik pintu yang segera menariknya keluar dari kamar ini. Tapi itu tak akan terjadi. Baru dua jam lalu Marya berlari pergi dari kamar ini. Ia marah karena Damha tak sengaja menyenggol dadanya

Kebetulan yang luar biasa, bukan? Muraj datang saat Marya tak bersamanya. Saat tak ada orang lain yang ia harap bisa menolongnya. Perut Damha berkecamuk, seperti gemuruh laut yang membadaikan petaka.

Hoeeek... Damha muntah. Ia keluarkan sepotong ubi yang belum a cerna baik-baik.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •



Mengenai Muraj, sosok aneh yang mendatanginya itu, lebih serupa burung kecil dengan bulu halus berwarna kuning. Saat Muraj bicara, dari punggungnya merentang sayap berwarna pelangi. Tetapi Muraj tak menemui Damha sebagaimana cara setan Morrou muncul dari bawah ranjang. Sosok kecil itu masuk lewat jendela yang terbuka, lalu semena-mena mengintimidasinya.

"Krrr..." Muraj mengrik pendek. "Katakanlah!" ia mengulangi lagi perintahnya.

"Apa?" Damha susah-payah melawan teror di dadanya.

"Katakanlah atas nama Tuhan!"

"Tuhan yang mana? Siapa?"

Tuhan yang menciptakan dan meniupkan cinta!"

"Aku tidak bisa nengatakan apa pun? Aku bukan penyair!"

"Tetapi kau seorang pecinta." Muraj tersenyum.

"Katakanlah!" Suara Muraj tiba-tiba meninggi lagi, membuat telinga Damha berdenging. Lelaki itu benar-benar kepayahan.

"Katakanlah Tuhan dalam cinta!" Muraj terus memerintahnya.

"Aku bukan pecinta," Damha keras kepala.

"Ulangi kata-kataku! Oh, Tuhanku yang penuh cinta," uraj tak peduli.

"Oh, Tuhanku yang penuh cinta!" Damha menyerah.

Muraj segera menyambung, "Aku akan mematuhimu dalam cinta!"

Tetapi Damha terdiam. Kepatuhan? "Kepatuhan pada siapa?"

Muraj merentangkan sayap kecil yang pelangi itu. Matanya memancarkan cahaya merah. "Ulangi saja kata-kataku!" teriaknya. Telinga Damha berdentang. Ia mengeriap.

"Patuh padamu, atau pada Tuhan? Muraj mendengus. "Kau pikirkan itu sampai aku datang lagi!" serunya dan buru-buru melesat terbang lewat jendela.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •



Marya mengizinkan Damha menemuinya dekat air mancur di alun-alun kota. Gadis itu merengut saat Damha berjalan ke arahnya, lalu tanap basa-basi ia meninju perut lelaki itu.

"ku tak bermaksud membuatmu malu," Damha meringis memegangi perutnya. Gadis itu tak menyahut. Ia merogoh sakunya dan menjentikkan sebuah koin tembaga 25 sen ke dalam kolam air mancur. Di dasar kolam, koin-koin berkilat lembut terpapar cahaya. "Mohonlah sesuatu, Damha," pinta Marya.

"Memohon untuk apa?" Damha balik bertanya. Marya tersenyum. "Berdoalah. Mintalah sesuatu." Damha mengusap wajahnya. Ia memilih duduk. "Itu tak penting sekarang ini."

Marya memutar tubuhnya. Ia kaget. "Kenapa tak penting? Kau perlu berdoa."

"Sesuatu telah mendatangiku." Nada suara Damha membuat Marya cemas. "Siapa?" Gadis itu langsung merespons lelaki di sisinya.

"Muraj." Damha berharap Marya tak menyangkanya sudah gila. "Ia sosok yang menghantui kamarku."

"Kau gila, Damha! Di saat bersamaku pun kau lebih suka bicara tentang hantu." Damha menyerah. Gadis itu baru saja membenarkan kegilaannya. Tapi, hantu itu bicara tentang Tuhan." Mulut Marya terbuka dan ia membungkuk memegangi perutnya. Lelaki di sisinya itu berhasil membuatnya terbahak. Marya mengibaskan kepalanya, matanya menyorot tajam.

"Jadi Muraj ini sejenis hant yang alim?" Damha tiba-tiba merasa canggung dengan pembicaraan ini. "Sudahlah. Aku tak mau membahasnya lagi."

"Jangan merajuk begitu," kelucuan di wajah gadis itu belum usai. "Aku percaya padamu. Ia memang hantu, dan ia datang setelah kau menyentuh dadaku." Damha benar-benar menyerah dengan sindiran Marya, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Marya adalah satu-satunya orang yang masih mau bicara padanya. Orng-orang menghindarinya karena menyangka ia dikelilingi maut. Marya tak peduli pada dugaan orang-orang. Ia menyukai Damha, walau lelaki di depannya itu tak pernah menyadarinya.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •



Muraj mendarat keras di lantai kamar Damha. Makhluk itu tampak payah. Sebelah sayayapnya membentang lunglai, sebelah lagi tertutup darah kering. "Inikah hantu yang kau bicarakan itu?" bisik Marya ke telinga Damha.

Damha mengangguk. "Ya. Dialah Muraj." Tapi Marya tak peduli siapa pun namanya. "Kanapa sayapnya berdarah?" Damha berlutut dan mendapati Muraj yang bergeming lemah. Makhluk itu bernapas nyaris senyap. Marya teringat lagi pada kisah neneknya.

"Ia seperti tak bernapas lagi." Damha membalikkan tubuh Muraj agar terlentang. Marya merengut. "Ini burung, bukan hantu. Tak ada burung yang bisa bicara. Kau berhalusinasi, dan bodohnya aku mempercayaimu!" rutuk Marya berdiri dari jongkoknya. Muraj membuka matanya. "Marya, aku bukanlah malaikat pembangkang. Malaikat patuh yang nenekmu maksud dalam ceritanya itu adalah malaikat yang kini kerap menghalau dirimu mematuhi Tuhan. Ia tidak menyukai cinta."

Marya gelagapan. Mulutnya tiba-tiba terkunci. "Cinta," Muraj mengirik pada Damha, "Aku harus menuntaskan tugasku. Damha, kata pertama yang diajarkan Tuhan pada manusia adalah cinta. Katakanlah bahwa Tuhanmu menciptakan cinta. Cintailah setiap makhluk Tuhanmu."

Sudah kukatakan aku bukan pecinta. Aku tak pernah melihat wajah ayah dan ibuku." Damha tertunduk. "Bagaimana mungkin aku mencintai orang-orang yang tak pernah aku temui?"

"Jangan cemas, Damha. Bukankah kau mencintai Tuhan, sedang kau tak pernah melihat-Nya? Aku tahu, kau bisa mencintai dua orang tuamu. Bersabarlah Damha. Kita akan bertemu lagi." Napas Muraj kian tipis, matanya mengerjap lemah. "Oya, Marya," sapa Muraj, "nenekmu menitipkan salam dan rindunya untukmu." Muraj tersenyum dan mengatupkan mata. Tak ia buka lagi dan benar-benar pergi.

Mengenai luka di tubuh Muraj, luka yang membuat Muraj menemui kematiannya itu adalah luka peluru senapan. Muraj tertembak penembak jitu saat ia melintasi kota yang dikepung huru-hara. Saat orang-orang begitu bernafsu membunuh cinta. Mereka membakar, menjarah, membunuh dan memerkosa. Walau tertembak, ia tetap datang memenuhi janjinya. Damha dan Marya memakamkan Muraj di bawah jendela.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •



Molenvlient, Januari 2014
Ilham Q. Moehiddin, satiris, menggemari Ambrose Bierce Gwinnett.


Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 17 Agustus 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih kunjungannya sahabatku. saya harap sudilah kiranya rekan dan sahabat meninggalkan sepatah atau dua patah kata di kolom komentar ini.

Harap berkomentar dengan sopan, dan juga mohon tidak promo. tidak mencantumkan kode-kode togel atau isi komentar yang berbau togel. jika melanggar dengan terpaksa komentar saya hapus...!! terima kasih