Kebatinan adalah sesuatu yang dirasakan manusia pada batin yang paling dalam, dan terjadi pada siapa saja, termasuk pada orang-orang yang sangat tekun dan murni dalam agamanya, karena setiap agama pun mengajarkan juga tentang apa yang dirasakan hati dan batin, mengajarkan untuk selalu membersihkan hati, bagaimana harus berpikir dan bersikap, dan sebagainya.
_________________________
Dalam masing-masing firman dan sabda terkandung makna kebatinan yang harus dihayati dan diamalkan oleh para penganutnya. Bahkan panggilan yang dirasakan seseorang untuk beribadah, itu juga batin. Dan di dalam batin tersimpan sebuah kekuatan yang besar jika dilatih dan diolah. Kekuatan batin manjadi kekuatan hati dalam menjalani hidup dan memperkuat keimanan seseorang. Ajaran kebatinan kejawen pada dasarnya adalah pemahaman dan penghayatan kepercayaan orang Jawa terhadap Tuhan . kejawen atau Kejawaan (ke-jawi-an) dalam pandangan umum berisi kesenian, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen mencerminkan spritualis orang Jawa.
Ajaran kejawen tidak terpaku pada aturan yang formal seperti dalam agama, tetapi menekankan pada konsep “keseimbangan dan dan keharmonisan hidup”. Kebatinan Jawa merupakan tradisi dan warisan budaya leluhur sejak jaman kerajaan purba, jauh sebelum hadirnya agama-agama di Pulau Jawa, yang pada prakteknya, selain berisi ajaran-ajaran budi perkerti, juga diwarnai ritual-ritual yang berbau mistik.
Secara kebatinan dan spiritual dipaham bahwa kehidupan manusia di alam ini hanyalah sementara saja, yang pada akhirnya nanti semua orang akan kembali lagi kepada Sang Pencipta. Manusia, bila hanya sendiri, adalah bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, lemah dan fana. Karena itulah manusia manusia harus bersandar kepada kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi (roh-roh dan Tuhan), dan beradaptasi dengan lingkungan alam dan memeliharanya, bukan melawannya, apalagi merusaknya. Lebih baik untuk menjaga sikap dan tidak membuat masalah. Memiliki sedikit lebih baik, daripada berambisi mencari “lebih”.
Dengan demikian idealism kebatinan Jawa menuntun manusia pada sikap menerima, sabar, rendah hati, sikap tahu diri, kesederhanaan, suka menolong, tidak serakah tidak foya-foya/berhura-hura, dsb. Idealism inilah yang menjadikan manusia hidup tentram dan penuh rasa syukur kepada Tuhan. Mereka terbiasa hidup sederhana dann papun yang mereka miliki akan mereka syukuri sebaga karunia Allah.
Mereka percaya adanya “berkah” dari rooh-roh, alam dan Tuhan, dan kehidupan mereka akan lebih baik bila mereka “keberkahan”. Karena itu dalam budaya Jawa dikenal adanya upaya untuk selalu menjaga perilaku, kebersihan hati dan batin dan ditambah dengan laku prihatin dan tirakat supaya hidup mereka diiberkahi. Mereka tekun menjalankan “laku” untuk pencerahan cipta, rasa, budi, dan karsa.
laku adalah usaha/upayaPrihatin adalah sikap menahan diri, menjauhi perilaku bersenang-senang, enak-enakan.
Tirakat adalah usaha-usaha tertentu sebagai tambahan, untuk terkabulnya suatu keinginan. Hakekat dan tujuan dari laku prihatin dan tirakat adalah usaha untuk menjaga agar kehidupan manusia selalu “keberkahan”, selamat dan sejahtera dalam lindungan Tuhan, agar dihindarkan dari kesulitan-kesulitan dan terkabul keinginan-keinginannya. Proses laku mendorong dan mengarahkan perilaku seseorang agar selalu bersikap positif dan menjauhi hal-hal yang bersifat negatif dan tidak bijaksana, demi tercapainya tujuan hidup.
Di luar segala bentuk laku prihatin yang dijalankan manusia, ada laku lain yang sifatnya sangat mendasar, yaitu puasa hati dan batin, yang dalam kesehariannya dilakukan tanpa kelihatan bentuk dasar lakunya. Laku pribadi yang biasa dilakukan pada dasarnya adalah:
1. Membersihkan hati dan batin dan membentuk hati tulus dan ikhlas.
2. Hidup sederhana dan tidak tamak, selalu bersyukur atas apa yang dimiliki.
3. Mengurangi makan dan tidur.
4. Tidak melulu mengejar kesenangan hidup.
5. Menjaga sikap eling lan waspada.
Di dalam spiritual kejawen, seorang penghayat kejawen biasa melakukan puasa dan biasanya disesuaikan dengan kalender Jawa, misalnya puasa Senin-Kamis, wetonan, Selasa Kliwon, Jumat Kliwon, dan sebagainya.
Puasa tersebut dimaksudkan untuk menjadikan hidup mereka lebih “bersih” dan keberkahan, sekaligus juga bersifat kebatinan, yaitu untuk memelihara kepekaan batin dan memperkuat hubungan mereka dengan saudara kembar gaib, yang biasa disebut “sedulur papat”, sehingga puasa itu juga memelihara “berkah” indera keenam seperti peka firasat, peka terhadap petunjuk gaib/pertanda, peka tanda-tanda alam, dan sebagainya.
Lalu prihatin pada prinsipnya adalah perbuatan sengaja untuk menahan diri terhadap kesenangan-kesenangan, keinginan-keinginan dan nafsu/hasrat yang tidak baik dan tidk bijaksana dalam kehidupan. Laku prihatin juga dimaksud sebagai upaya menggembleng diri untuk mendapatkan “ketahanan” jiwa dan raga dalam menghadapai gelombang-gelombang dan kesulitan hidup. Orang yabg tidak biasa laku prihatin, tidak biasa menahan diri, akan merasakan beratnya menjalani laku prihatin.
Laku prihatin dapat dilihat dari sikap seseorang yang menjalani hidup ini secara tidak berlebih-lebihan. Idealnya, hidup ini dijalani proporsonal, selaras dengan apa yang benar-benar menjadi kebutuhan hidup, dan tidak melebihi batas nilai kepantasan atau kewajaran (tidak berlebih dan tidak pamer).
Walaupun kepemilikan kebendaan seringkali dianggap sebagai ukuuran kualitas dan keberhasilan hidup seseorang, dan sekalipun seseorang sudah jaya dan berkecukupan, laku prihatin dapat dilihat dari sikapnya yang menahan diri dari perilaku konsumtif berlebihan. Menjalani laku prihatin juga tidak sama dengan menahan diri karena hidup yang serba kekurangan. Laku prihatin melandasi perbuatan yang bermoral.
Prihatinnya Orang Miskin Harta.Walaupun seseorang kekurangan harta, tetapi dia tidak mengisi hidupnya dengan kesedihan, rasa iri dan dengki dan tidak mengejer kekayaan dengan cara tercela. Tetap hidup sederhana sesuai kebutuhannya dan tidak menginginkan sesuatu yang bukan miliknya.
Walaupun tidak dapat memenuhi keinginan kebendaan duniawi secara berlebihan, tetapi tetap menjalani hidup dengan rasa menerima dan bersyukur. Dan sekalipun menolong dan membantu orang lain, tetapi dilakukan tanpa pilih kasih dan tanpa pamrih kebendaan, dengan demikian hidupnya juga memberkahi orang lain.
Filosofinya, makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan (hewan). Urip iku mung manpir ngumbe thok.
Hidup seperlunya saja sesuai kebutuhan, bukannya mengejar/menumpuk harta atau apapun juga yang nantinya toh tidak akan dibawa mati, dan dibaw masuk ke dalam kubur.
Sekalipun mereka miskin harta, tetapi kaya di hati, sugih tanpa bandha. Berbeda dengan orang yang berjiwa miskin, yang sekalipun sudah berkecukupan harta, tetapi selalu merasa takut miskin, dan akan melakukan apa saja, termasuk perbuatan yang tercela, untuk terus menambah kekayaannya.
Prihatinnya Orang Kaya Harta.Walaupun seseorang berlebihan harta, tetapi tidak mengisi hidupnya dengan dengan kesombongan dan bermewah-mewahan. Tetap hidup sederhana sesuai kebutuhannya dan tidak memenuhi segala keinginan melebihi apa yang menjadi kebutuhan.
Seseorang yang kaya berlimpah harta, memiliki banyak benda yang bagus dan mahal harganya dan melakukan pengeluaran yang “lebih” untuk ukuran orang biasa, bukan selalu berarti tidak nejalani laku prihatin. Namun hidup yang bermewah-mewah sama saja dengan hidup berlebih-lebihan (melebihi apa yang menjadi kebutuhan), inilah yang disebut tidak menjalani laku prihatin.
Orang kaya harta, yang selalu mensyukuri kesejahteraannya, akan tampak dari sikap hatinya yang selalu memberi “lebih” kepada orang-orang yang membutuhkan pemberiannya, bukan sekedar memberi, walaupun perbuatannya itu tidak ada yang melihat. Dan semua kewajibannya, duniawi maupun keagamaan, yang berhubungan dengan hartanya akan dipenuhinya, tidak ada yang dikurangkan.
Prihatinnya Orang Kaya Ilmu.Orang kaya ilmu, baik ilmu pengetahuan maupun ilmu spiritual, akan menjalani laku prihatin dengan cara memanfaatkan tidak untuk kesombongan, kejayaan, dan kepentingan diri sendiri, serta tidak untuk membodohi atau menipu orang lain, tetapi dimanfaatkan juga untuk menolong orang lain dan membaginya kepada siapa saja yang layak menerimanya, tanpa pamrih kehormatan atau upah.
Prihatinnya Orang Berkuasa.Seorang penguasa hidup prihatin dengan menahan kesombongannya, menahan hawa nafsu sok kuasa, dan tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk kejayaan diri sendiri dan keluarganya saja. Kekuasaan dijadikan sarana untuk menciptakan kesejahteraan bagi para bawahan dan masyarakat yang dipimpinnya.Kekuasaan dimanfaatkan untuk menciptakan negeri yang adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kertoraharjo, sebagaimana layaknya seorang negarawan sejati.
Seorang politikus hidup prihatin dengan tidak hanya membela kepentingannya, kelompoknya atau golongannya sendiri, tau untuk mencari populeritas, menggoyang pemerintahan yang ada, tetapi digunakan untuk mendukung pemerintahan yang ada dan meluruskan jalannya yang keliru, yang menyimpang, untuk kepentingan rakyat banyak.
Seorang aparat negara, aparat keamanan atau penegak hukum, hidup prihatin dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban tugasnya dengan senantiasa dan tidak menyalahgunakan kewenangan untuk menindas, memeras atau berpihak kepada pihak-pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain, mencukupkan diri dengan gajinya dan menambah rejeki dengan cara yang halal, tidak mencuri, tidak memeras, tidak meminta/menerima sogokan.
Orang Jawa bilang intinya kita harus selalu eling lan waspada. Selalu ingat Tuhan. Tetapi biasanya manusia hanya mengejar kesuksesan saja, keberhasilan, keberuntungan, dsb, tapi tidak tahu pengapesannya.
Sering dikatakan orang-orang yang selalu ingat Tuhan dan menjaga moralitas, seringkali hidupnya banyak godaan dan banyak kesusahan. Kalau eling ya harus tulus, jangan ada rasa sombong, jangan merasa lebih baik atau lebih benar dibanding orang lain, jangan ada pikiran jelek tentang orang lain, karena kalau kita bersikap begitu sama saja kita bersikap negatif dalam diri kita. Aura negatif akan menarik hal-hal yang negatif juga, sehingga kehidupan kita juga akan banyak berisi hal-hal yang negatif.
Di sisi lain kita juga harus sadar, bahwa orang-orang yang banyak menahan diri, membatasi perbuatan-perbuatannya, seringkali menjadi kurang kreatif dan yang didapatnya juga akan lebih sedikit dibandingkan orang-orang yang tidak menahan diri. Itulah resikonya menahan diri. Tetapi mereka yang sadar pada kemampuan dan potensi diri, peluang-peluang, dsb, dan dapat memanfaatkannya dengan tindakan nyata, akan juga dapat menghasilkan banyak, tanpa harus lupa Tuhan dan merusak moralitasnya.
Di sisi lain sering dikatakan orang-orang yang tidak ingat Tuhan atau tidak menjaga moralitas, seringkali kelihatan hidupnya lebih enak. Bisa terjadi begitu karena mereka tidak banyak beban, tidak banyak menahan diri, apa saja akan dilakukan walaupun tidak baik, walaupun tercela. Beban hidupnya lebih ringan daripada yang menahan diri. Mereka bisa mendapatkan lebih banyak, karena mereka tidak banyak menahan diri.
Di luar pandangan-pandangan di atas, sebenarnya, jalan kehidupan masing-masing makhluk, termasuk manusia, sudah ada garis-garis besarnya, sehingga bisa diramalkan oleh orang-orang tertentu yang bisa meramal. Tinggal masing-masing manusianya saja dalam menjalani kehidupannya, apakah akan banyak eling dan menahan diri, ataukah akan mengumbar keduniawiannya.
Dalam tradisi Jawa, laku prihatin dan tirakat adalah bentuk upaya spiritual/kerohanian seseorang dalam bentuk keprihatinan jiwa dan raga, ditambah dengan laku-aku tertentu, untuk tujuan mendapatkan keberkahan dan keselamatan hidup, kesejahteraan lahiriah maupun batin, atau juga untuk mendapatkan keberkahan tertentu, suatu ilmu tertentu, kekayaan, kesaktian, pangkat atau kemuliaan hidup. Laku prihatin dan tirakat ini, selain merupakan bagian dari usaha dan doa kepada Tuhan, juga merupakan suatu “keharusan” yang sudah menjadi tradisi, yang diajarkan oleh para pendahulu mereka.
Ada pepatah, puasa adalah makanan jiwa. Semakin gentur laku puasa seseorang, semakin kuat jiwanya, sukmanya.
Laku puasa yang dilakukan sebagai kebiasaan rutin akan membentuk kebatinan manusia yang kuat untuk bisa mengatasi belenggu duniawi lapar dan haus, mengatasi godaan hasrat dan nafsu duniawi, dan menjadi upaya membersihkan hati serta mencari keberkahan pada jalan hidup. Akan lebih baik bila sebelum dan selama melakukan laku tersebut selalu berdoa niat dan tujuannya, mendekatkan hati dengan Tuhan, jangan hanya dijadikan kebiasaan rutin saja.
Berat-ringannya suatu laku kebatinan bergantung pada kebulatan tekad sejak awal sampai akhir. Bentuk laku yang dijalani tergantung pada niat dan tujuannya. Diawali dengan mandi keramas/bersuci, menyajikan sesaji sesuai yang diajarkan dan menanjatkan doa tentang niat dan tujuannya melakukan laku tersebut dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan jahat dan tercela. Ada juga yang melakukannya bersama dengan laku berziarah, atau bahkan tapa brata, di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti di gunung, makam leluhur/orang-orang linuwih, hutan, goa, bangunan yang wingit, dan sebagainya.
Ada beberapa bentuk formal laku prihatin dan tirakat, misalnya:
1. Puasa, tidak makan dan minum atau berpantang makanan tertentu.
Jenisnya:
• Puasa Senin-Kamis, yaitu puasa tidakk makan dan minun setiap hari Senin dan Kamis.
• Puasa Weton, puasa tidak makan dan minum setiap hari weton (hari+pasaran) kelahiran seseorang.
• Puasa tidak makan apa-apa, boleh minum hanya air putih saja.
• Puasa Mutih, tidak makan apa-apa kecuali nasi putih dan air putih saja.
• Puasa Mutih Ngepel, dari pagi sampai Maghrib tidak makan dan minum, untuk sahur dan buka puasa hanya 1 kepal nasi dan 1 gelas air putih.
• Puasa Ngepel, dalam sehari hanya makan satu atau beberapa kepal nasi saja.
• Puasa Ngeruh, hanya makan sayuran atau buah-buahan saja, tidak makan daging, ikan, telur, terasi, dan sebagainya.
• Puasa Ngayep, hampir sama dengan Puasa Mutih, tetapi makanannya lebih beragam asalkan tidak mempunyai rasa, yaitu tidak memakai bumbu pemanis, cabai, dan garam.
• Puasa Ngrowot, dilakukan dari Subuh sampai Maghrib. Saat sahur dan buka puasa hanya makan buah-buahan, dan umbi-umbian yang sejenis saja, maksimal 3 buah.
• Puasa Ngebleng, tidak makan dan minum sehari penuh siang dan malam, atau beberapa, siang dan malam tanpa putus, biasanya 1-3 hari.
2. Menyepi dan berdoa di dalam rumah. Tidak mendatangi tempat keramaian dan tidak menonton hiburan.
3. Menyepi dan berdoa di makam leluhur/orang-orang linuwih, dan tempat-tempat yang dianggap keramat, tidak mendatangi tempat keramaian serta tida menonton hiburan.
4. Berziarah dan berdoa di makam leluhur/orang-orang linuwih, dan tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti di gunung,pohon, goa, banguan yang wingit, dan sebagainya.
5. Mandi kembang telon aau kembang setaman tujuh rupa.
6. Tapa Melek, tidak tidur, biasanya 1-3 hari. Tidak mendatangi tempat keramaian dan tiida menonton hiburan.
7. Tapa Melek Ngalong, biasanya 1-7 hari. Siang hanya boleh tidur, tetapi selama malam hari tidak tidur, tidak mendatangi tempat keramaian dan tidak menonton hiburan.
8. Tapa Bisu dan Lelono, melakukan perjalanan berjalan kaki dan bisu tidak bicara, dari Maghrib sampai pagi, melakukan kunjungan ke makam leluhur/orang-orang linuwih atau ke temapt-tempat keramat dan berdoa.
9. Tapa Pati Geni, diam di dalam suatu ruangan , tidak terkena cahaya apapun, selama sehari atau beberapa hari, biasanya untuk tujuan keilmuan. Ada juga yang disebut Tapa Pendem, yaitu puasa dan berdiam di dalam rongga di dalam tanah seperti orang yang dimakamkan, biasanya selama 1-3 hari.
10.Tapa Kungkum, ritual berendam di sendang atau sungai, terutama di pertemuan 2 sungai (tempuran sungai), selama beberapa malam berturut-turut dan tidak boleh tertidur, dengan posisi berdiri atau duduk bersila di dalam air dengan kedalaman air setinggi leher atau pundak.
Laku prihatin dan tirakat nomor 1 sampai 5 adalah yang biasa dilakukan orang Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan kombinasi 1 sampai 10 dilakukan untuk terkabulnya suatu keinginan tertentu yang bersifat khusus, biasanya supaya mendapatkan berkah tertentu, atau untuk tujuan keilmuan.
Tidak hanya dalam kehidupan keseharian, laku-laku kebatinan di atas juga seringkali dilakukan sebelum seseorang melakukan suatu kegiata/usaha yang dianggap penting dalam kehidupannya, seperti memulai suatu usaha ekonomi, akan pergi merantau, akan hajatan nikahan, dsb. Bahkan sudah biasa bila orang-orang tua berpuasa untuk memohonkan keberhasilan kehidupan dan usaha anak-anaknya.
Masing-masing bentuk laku prihatin dan tirakat mempunyai kegunaan dan kegaiban sendiri-sendiri yang dapat dirasakan para pelakunya, dan mempunyai kegaiban sendiri-sendiri dalam membantu mewujudkan tujuan laku pelakunya.
(*)