Sikap Naila tiba-tiba berubah saat mendekati hari pernikahan. Aku pun dibuat ketakutan akan kehilangan dia. Terlebih kemudian diketahui, Naila terkena santuang palali! Sulit untuk menyembuhkan korban ilmu hitam tersebut.
______________________________
Sekali lagi mataku menatap wajah cantik di depanku ini. Mata yang coklat dengan bulunya yang lentik. Hidungnya mancung, dan satu hal yang khas darinya, ginsulnya yang semakin menambah kecantikannya di mataku.
“Bagaimana, Naila, apa kamu sudah siap dengan pernikahan kita?” tanyaku seraya mengelus lembut pipi mulusnya. Sesaat ia hanya diam. Matanya memandang kosong pada Gunung Merapi yang tengah batuk-batuk beberapa hari belakangan ini.
“Naila?” tanyaku menaikkan volume suara.
“Eh, iya, Bal? maaf aku melamun.”
“Kamu kenapa? Kalau ada masalah, kamu bisa cerita sama aku.”
“Aku cuma gugup sama pernikahan kita nanti,” jawab Naila pelan.
Rasanya ada yang janggal dengan reaksi Naila. Aku sudah lama mengenalnyadan tak pernah sebelumnya ia bertingkah seperti ini.
Angin sepoi-sepoi menrbangkan anak rambutnya. Wajahnya tak lagi menampakkan kebahagiaan menyambut pernikahan kami. Tiba-tiba ia bangkit dari duduk, lalu bergegas memakai sandal.
“Maaf, Bal, aku lupa ada janji ama ibu mau menemaninya periksa mata ke dokter,” ujarnya. Tanpa menunggu jawabanku, kakinya sudah melangkah cepat meninggalkan pondok singgah yang ada di dekat rumahnya, tempat biasa kami menghabiskan waktu ketika pulang bekerja.
Punggungnya terlihat semakin jauh, lalu menghilang di tikungan jalan. Bahkan aku menyesal karena tak sanggup mencegahnya untuk kuantar pulang. Ah, Naila, apa sebenarnya yang kamu pikirkan? Batinku bertanya-tanya.
“Kamu ada masalah, Bal? kenapa wajahmu kayak begitu?” tanya Amak ketika aku memasuki rumah. Kulihat beliau sibuk mengupas bawang, bumbu untuk makan malam kami.
“Naila, Mak. Kayaknya dia ada masalah tapi dia nggak mau cerita,” ujarku seraya mendaratkan pantat di kursi ruang tamu. Pikiranku melayang pada Naila. Tak kupedulikan lagi Doni yang tengah asyik dengan dengan handphone barunya. Padahal biasanya aku suka sekali mengganggu ketika pulang kantor seperti sekarang ini. Entahlah, saat ini aku sedang tidak ada selera untuk menggodanya.
“Paling dia cuma gugup menghadapi hari pernikahan kalian. Amak dulu juga begitu, stressnya minta ampun. Bahkan beberapa hari susah tidur karena memikirkan pernikahan,” jelas Amak bersemangat.
Namun aku enggan menanggapi. Aku hanya diam, tidak berniat lagi mengatakan semuanya pada Amak. Toh, mungkin Naila akan kembali seperti sebelumnya. Dia mungkin hanya gugup, harapku dalam hati.
Sebenarnya hal yang membuatku resah adalah ketakutan jika pernikahanku dibatalkan. Apa aku sanggup melepaskan Naila, wanita yang teramat kucintai? Membayangkannya saja aku teramat takut. Usia 27 tahun memang usia yang sudah pantas untuk seorang lelaki menikah.
Yang kubutuhkan kini adalah sosok seorang istri yang akan selalu menemaniku dan menyambutku setiap pulang kerja. Kalau diingat awal perkenalan dengan Naila, aku tersenyum sendiri. Bermimpi berkenalan dengan Naila saja tidak pernah, apalagi sampai mengajaknya menikah. Bagaimana mungkin wanita yang nyaris sempurna seperti dia tertarik kepadaku. Saat SMA, Naila memang sudah menarik perhatianku.
Dengan kecantikan dan kepintarannya, banyak teman-teman yang senang berteman dengan Naila. Ia selalu rendah hati dan berlaku baik pada siapapun. Tak heran jika ia menjadi kesayangan banyak guru. Biasanya yang kulakukan setiap jam istirahat datang hanyalah mencuri pandang ketika ia melintas di taman sekolah. Aku dan teman-teman lain biasa menghabiskan waktu di taman sementara Naila selalu melintasi taman setiap kali hendak ke kantin bersama temannya.
Ketika aku tahu ayahku dan ayah Naila ternyata teman SMP, pintu untuk mengenal Naila lebih dekat terbuka lebar. Saat lebaran, ayah mengajakku mengunjungi rumah Naila. Kami sempat berbincang dan merasa kehangatan tatapan matanya. Rupanya Naila sangat enak untuk diajak ngobrol. Dia pun sepertinya suka dengan candaan-candaan yang aku lontarkan. Sejak itulah aku menjadi dekat dengannya.
Tiba-tiba sebuah truk nyaris menabrak mobilku ketika hendak berbelok ke kanan. Pikianku tentang Naila buyar sudah. Hatiku berucap syukur karena selamat dari kecelakaan. Salahku juga karena melamun ketika menyetir.
Kuparkirkan mobil di halaman sebuah masjid untuk mencuci wajah. Sore ini, setelah pulang dari kantor, aku sengaja ingin mengunjungi Naila di rumahnya, hendak melihat persiapan pernikahan kamidi rumah calon anak daro, panggilan untuk pengantin wanita pada pesta perkawinan dalam adat Minangkabau.
Dari kejauhan, sudah terlihat tanda-tanda akan diadakannya sebuah pesta di tempat itu. Beberapa tenda sudah terpasang di halaman rumah Naila yang cukup luas. Dua orang juga tengah sibuk mengecat pagar menjadi warna hijau, sesuai dengan warna dinding rumah Naila.
Setelah menyapa beberapa orang yang sedang bekerja, aku segera memasuki rumah Naila. Di ruang tamu beberapa remaja cewek tengah sibuk melipat serbet untuk tamu saat pesta nanti. Aku tersenyum pada remaja itu lalu segera berlalu menuju ruang keluarga.
“Baru pulang dari kantor, Bal?” tiba-tiba ibu Nailaberseru padaku. Di tangannya terlihat beberapa majalah yang sedari tadi sibuk ia bolak-balik. Sepertinya majalah kuliner dengan menu-menu yang amat menarik selera.
“Iya, Bu. Mau liat persiapan baralek di sini. Naila mana, Bu?”
Raut wajah ibu Naila seketika berubah. Ia tak lagi sesemangat tadi. Majalah kulinerpun ia tutup lalu diletakkannya di atas televisi.
“Ke sini sebentar, Bal. ada yang mau ibu bicarakan,” ibu Naila mengajakku ke taman di belakang rumah.
“Ibu nggak tahu harus bagaimana lagi, Bal. Sudah seminggu ini Naila selalu mengurung diri di kamar. Padahal dua hari lagi adalah hari pernikahan kalian. Ibu sudah berusaha membujuknya agar mau bicara tapi dia selalu bilang cuma gugup karena hari pernikahan kalian. Ibu yakin tidak ada masalah di antara kalian,” ujar ibu Naila cemas.
Terlihat sekali kesedihan di wajahnya. Kecemasan akan masa depan putri semata wayangnya. Wajar saja beliau cemas karena usia Naila yang sudah 27 tahun merupakan usia wanita yang bisa dibilang tidak muda lagi. Apalagi beliau paling antusias menyiapkan segala hal untuk acara pernikahan kami. Mungkin karena beliau telah menjadi orangtua tunggal Naila ketika Naila masih berumur 10 tahun, jadi ia punya rasa tanggung jawab dua kali lipat lebih besar atas anaknya
“Aku juga bingung, Bu. Sudah satu bulan ini Naila berubah. Kami sudah pacaran dua tahun dan baru kali ini skapnya berubah. Terkadang ketika aku mengajaknya pergi, sering kali dia menolak. Aku percaya sama Naila. Dia tidak mungkin macam-macam. Hanya saja kelihatannya Naila sedang punya masalah yang teramat berat. Tapi aku sendiri tak bisa memaksanya untuk bercerita, Bu,” kataku panjang lebar pada calon mertuaku itu.
Sesaat ibu Naila menghela napas. Membuang beberapa beban berat yang terasa menghimpitnya. “Ibu benar-benar nggak paham sama dia. Biasanya Naila elalu cerita sama ibu tiap kali ada masalah.”
Yang terpikir olehku, apa Naila belum siap dengan pernikahan kami? Apa aku harus mengundur pernikahan sampai Naila siap? Bukan, maksudku jika seandainya Naila tetap seperti ini, apa pernikahan ini akan benar-benar dibatalkan? Rasanya aku benar-benar tak sanggup.
“Aku mau lihat Naila dulu, Bu,” kataku. Setelah ibu Naila mengangguk, kakiku segera melangkah menuju kamar Naila. Perlahan pintu kamar kuketuk. Pelan. Tapi tidak ada jawaban. Aku ulangi dan tetap tidak ada jawaban. Aku lalu sedikit mengintip melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Kulihat Naila sedang berdiri menghadap jendela, melihat aktivitas orang-orang di halaman yang tengah sibuk memasang tenda dan merapikan meja untuk tamu.
“Naila, aku boleh masuk?” Naila membalikkan badannya lalu menatapku dengan ekspresi datarnya.
“Kok kamu lebih kurusan? Kalau ada masalah, kamu boleh cerita sama aku. Jangan bilang kamu gugup karena ernikahan kita,” kataku sambil menatap matanya.
Naila hanya diam, sepertinya ia tak berniat menjawab pertanyaanku barusan. Kulihat wajahnya yang pucatdan badannya yang semakin kurus. Lima belas menit berlalu dan tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Akhirnya aku memutuskan meninggalkan rumah Naila setelah pamit pada ibunya. Rasanya tak ada gunanya bicara pada Naila. Toh saat ini dia sedang tidak ingin mengatakan apapun padaku, simpulku dalam hati.
Dua hari lagi kami akan menikah dan kenyataannya, pesta pernikahan kami di ujung tanduk. Aku berusaha mencari tahu permasalahan Naila pada teman-temanya. Mungkin antara percaya atau tidak, akhirnya aku tahu penyebab Naila berubah.
“Aku memang sudah yakin sebelumnya Naila terkena santuang palalai,” ujar Rini menjelaskan saat aku menemuinya di rumahnya. Aku percaya pada semua yang dikatakan Rini karena ia adalah teman dekatnya Naila. Mereka sama-sama guru di sekolah dasar.
“Santuang palalai?” ulangku dengan dahi berkerut. Aku memang kurang tahu tentang hal-hal gaib. Amak tak pernah membicarakan hal gaib padaku. Lagian aku juga tak tertarik pada hal-hal seperti itu.
“Itu semacam ilmu gaib. Bedanya dengan buluh perindu, santuang palalai bisa membuat perasaan seseorang berubah,” jelas Rini penuh semagat. Aku tahu dia tidak ingin melihat perkawinan temannya berantakan gara-gara santuang palalai.
“Bisa saja Naila yang awalnya suka sama kamu, akhirnya perasaannya berubah menjadi tidak suka sama kamu, Iqbal. Intinya, kalau korban santuang palalai ini suka sama orang lain, orang yang dia suka nggak suka ama dia, dan sebaliknya, ortang yang tidak dia sukai malah mengejar-ngejar dia,” sambung Rini berapi-api.
Akhirnya aku paham dengan maksud Rini. Ia menceritakan semua yang terjadi pada Naila, termasuk laki-laki yang sudah dua tahun belakangan ini juga menyukai Naila. Ia tukang ojek di dekat sekolah tempat Naila mengajar dan ngotot sekali untuk mendapatkan hati Naila.
Banyak cara yang sudah ia lakukan untuk merebut hati Naila, tapi Naila bisa menempatkan dirinya. Ia menghargai laki-laki itu dan tetap bersikap baik padanya. Walaupun Naila tak pernah menceritakan tentang laki-laki itu, aku masih percaya sepenuhnya pada gadisku. Malam harinya, aku segera mengunjungi rumah Naila dan menceritakan semua yang kudengar dari Rini pada ibu Naila.
Perlahan semuanya mulai jelas. Setelah didesak, akhirnya Naila menceritakan semuanya pada ibunya. Ia bilang bahwa ia memang takut menghadapi pernikahan ini karena ia tak ada perasaan lagi padaku. Bagaimana mungkin ia menikah dengan laki-laki yang tidak dia cintai? Itu membuatnya terpukul dan mengurung diri di kamar.
Awalnya aku sangat kecewa mendengar semua perkataan ibu Naila, tapi ketika beliau menjelaskan bahwa sepertinya Naila memang sudah terkena santuang palalai, harapanku belum sepenuhnya pudar. Masih ada cara untuk mengobati Naila. Masih ada harapan bahwa pernikahan kami bisa dilaksanakan.
Bahkan untuk mempertahankan semuanya, aku sengaja minta izin libur dari kantor untuk menyelesaikan semua masalah ini. Sehari sebelum pernikahan kami, saat orang-orang sibuk membantu persiapan acara pernikahan aku dan Naila, aku dan Amak, dan ibu Naila membawa Naila ke rumah seorang ustadz. Sengaja kami tidak memberitahu siapapun tentang kondisi Naila. Bagaimanapun pernikahan ini harus tetap dilaksanakan.
“Untung cepat dibawa ke sini, jadi lebih banyak peluang untuk disembuhkan,” ujar sang ustadz.
Dia lantas mengobati Naila dengan pengobatan alternatif. Ustadz itu menjelaskan bahwa santuang palalai memang termasuk ilmu gaib dari daerah Minangkabau dan harus diwaspadai karena biasa terjadi pada perempuan. Kalau gasiang tangkurak membuat korban menjadi gila dan sulit disembuhkan, santuang palalai membuat korban bisa menjadi gadis seumur hidup karena tidak menemukan pasangan yang ia inginkan.
Si korban merana lantaran setiap orang yang ia sukai tak menyukainya sekalipun korban berwajah cantik. Ilmu gaib tak memandang siapapun untuk dijadikan korban. Tak jarang yang jadi korban adalah wanita yang berparas cantik karena menolak cinta si pelaku. “Intinya, waspada saja pada hal-hal gaib. Berlaku sopan pada setiap orang dan perbanyak ibadah pada Allah,” ujar ustadz itu selesai mengobati Naila.
Hari yang kutunggu akhirnya tiba jua. Aku bersanding dengan Naila di pelaminan. Ia nampak cantik dengan sunting khas Minang di kepalanya. Naila telah mulai pulih seperti sedia kala. Pengaruh santuang palalai mulai hilang dari tubuhnya. Semua ketakutanku hilang sudah.
Kini kami hidup bahagia tanpa gangguan kekuatan gaib. Meski demikian, kami terus mengingat pesan ustadz yang telah mengobati Naila, untuk selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Hanya dengan pertolongan-Nya, kami bisa melewati semua rintangan menuju mahligai bahagia. (*)
Santuang Palalai Adalah Santet
Tanggapan Pengasuh
Oleh: Eka Supriatna
Di negeri ini, berbagai ilmu hitam memang bertebar dari Sabang sampai Marauke. Meski berbeda nama dan medianya, tapi efek yang dirasakan korban nyaris sama. Jika ilmu santet itu digunakan untuk tujuan merubah perasaan korban maka si korban akan berbalik rasa 180 derajat, dari yang awalnya suka menjadi benci. Atau sebaliknya, dari yang awalnya benci dalam waktu singkat akan berubah menjadi suka setengah mati. Itulah yang dialami Naila atas Iqbal calon suaminya.
Tapi jangan berpikiran buruk dulu, ibarat pisau, ilmu santuang palalai pun bisa saja digunakan untuk hal yang baik. Hanya saja dalam kasus Naila dan Iqbal, santuang palalai ini digunakan pelaku (tukang ojek) untuk merusak perasaan Naila yang sebenarnya pada Iqbal. Dari rasa suka Naila pada Iqbal menjadi perasaan yang benci.
Jika saja santuang palalai itu digunakan untuk hal lain, misalnya seseorang yang bermusuhan dan sangat mungkin untuk merugikan orang lain. Orang yang saling bermusuhan ini sebenarnya bisa saja dipengaruhi santaung palalai untuk dipersatukan.
Itulah sebabnya santuang palalai ini ibarat pisau, jika digunakan untuk kebaikan maka akan menghasilkan berkah. Begitu juga sebaliknya, jika digunakan untuk keburukan maka akan menghasilkan petaka.
Kembali ke persoalan Naila dan Iqbal di atas. Sebuah pembuktian bahwa ilmu hitam seperti santuang palalai ini bisa menyengat siapapun. Termasuk Naila yang sebenarnya tidak pernah membicarakan hal-hal gaib atau mistik. Bahkan jika dilihat dengan mata telanjang, siapa yang tega melakukan hal ini pada Naila. Seoang wanita baik dengan profesi yang baik pula. Naila tidak pernah berbuat jahat pada si tukang ojek. Lalu bagaimana mungkin tukang oek itu bisa tega melakuka pada Naila.
Artinya seseorang yang tidak percaya dengan hal-hal mistik ternyata bisa mengalami kejadian mistik. Kemudian orang yang selalu berbuat baik pun bisa saja diperlakukan buruk oleh orang lain. Itulah sebabnya kita diharuskan waspada, ati-hati dan selalu berusaha mengantisipasi jika sesuatu yang buruk terjadi atas diri kita.
Termasuk ketika kita tidak mempercayai hal mistik, antisipasi untuk hal itu tetap saja harus dilakukan. Sebab tidak mempercayainya bukan berarti kejadian-kejadian mistik yang buruk itu tidak akan terjadi atas diri kita.
Memang bukan hal mudah untuk mengantisipasi hal-hal mistik seperti santet santuang palalai ini. Tapi paling tidak kita bisa memahami kejadian itu dari perlakuan yang berubah drastis pada seseorang. Jika seseorang kena pengaruh santuang palalai, sikapnya akan berubah seperti yang diperlihatkan Naila pada kisah di atas ini.
Maka jika mendapati hal itu, cepatlah melakukan penyembuhan pada orang yang tepat. Bisa pada kiayi, ustadz, atau orang-orang yang mumpuni dalam hal ini. Sebab jika penangannya terlambat, bisa jadi apa yang dialami Naila di atas akan permanen.
Artinya akan sulit disembuhkan dan selamanya Naila akan membenci Iqbal. Kemudian hal terburuk yang akan terjadi adalah, selamanya Naila akan sendirian. Tak akan bisa mendapatkan seorang lelaki sebagai tambatan hati. Jadi, efek yang paling buruk dari santuang palalai ini sama dengan efek santet gantung jodoh di Jawa.
Jika seseorang sudah kena gantung jodoh, maka ia akan sulit menemukan jodohnya. Berkali-kali pun ia menjalin hubungan cinta, pacaran, pada akhirnya tetap akan putus di tengah jalan. Putus bercinta tanpa sebab yang jelas. Yang ia rasakan hanya sakit hati dan sakit hati. (*)